Sesuatu tentang Cergam untuk Memahami Komik...01
Perkembangan sebuah budaya tidak terlepas begitu saja dari perjalanan sejarah kebudayaan itu sendiri, dan kejayaan di masa lalu hanya akan tercatat abadi dalam data sejarah atau ingatan kolektif sekelompok masyarakat atau kenangan pribadi seseorang. Manusia menyeleksi mana yang dibutuhkannya dan mana yang tidak, dan komik ternyata sejak kelahirannya beberapa dekade yang lalu hingga saat ini masih terlihat sebagai materi bacaan yang dibutuhkan. Konsepsi komik itu sendiri disinyalir oleh Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), penulis Faust dari Jerman yang terkenal itu, sebagai perekat budaya kosmopolitan manakala ia berkesempatan memperhatikan cerita-bergambar Histoire de Mr. Vieux Bois, buah karya dari seorang pakar pendidikan Swiss yang juga seniman bernama Rodolphe Töppfer (1766-1847). Cerita bergambar atau komik atau yang disebut Töppfer dengan printed literature mempunyai pengertian bahwa sebuah sastra yang dicetak adalah menulis cerita dengan gambaran grafis:
"You can write stories with chapters, lines, words: that's the actual literature. You can write stories with a succession of graphic scenes: that's printed literature. You can also do neither one nor the other, and sometimes that's the best!"
Sebelum konsep komik hadir, orang-orang sudah mengenal terlebih dulu sebutan kartun dan karikatur. Pengertian kartun sebenarnya berasal dari seni, etimologi yg datang dari bahasa italia ‘Cartone’ artinya kertas. Ia merupakan gambaran kasar atau sketsa awal dalam kanvas besar. (Setiawan 2002). Kartun memang pada akhirnya menjadi lebih dikenal sebagai gambar dengan cerita yang lucu-lucu dan menyindir halus (meski kadang keras), tapi kadangkala kita sering salah kaprah dalam menggunakan istilah kartun untuk menyebutkan film animasi sebagai film ‘kartun’ seperti Disney, Donal Bebek dan Miki Tikus, Tom dan Jerry. Jadi, kartun juga dikonotasikan dengan kelucuan atau ‘funny’. Yang lucu-lucu ini akhirnya dekat dengan komik, karena comics arti mendasarnya pun ‘lucu’ karena asumsi awal kelahiran komik di Amerika adalah publikasi periodik seperti suratkabar New York World (1896) di bagian ‘funniest pages’ yaitu halaman-halaman yang memuat kartun-kartun lucu. Menurut Havet (1987) kartun dapat dipertimbangkan sebagai bentuk dari komunikasi massa yang menyampaikan pesan-pesan tertentu (Mahamood 2004). Lebih lanjut diungkapkan oleh Mahamood bahwasannya secara umum kartun diklasifikasikan sebagai bentuk karya dari sebuah subjek yang di lebih-lebihkan (exageratted) dan pemiuhan (distortion) untuk tujuan satir dan hiburan. Kartun berkembang didalam masyarakat, seniman memanfaatkannya untuk merekam, mengkritisi atau mengomentari kejadian, issu dan personalitas tertentu. Karena itu biasanya kartun merefleksikan atau mengilustrasikan beragam aspek budaya dari masyarakat yg membentuknya. Sementara itu ‘karikatur’ lebih gampangnya dipahami sebagai gambar atau lukisan dengan muatan lebih pada seorang karakter yang di kenal, distrosi dan eksegarasi menjadi kata kuncinya, dan muatan pesan tertentu di dalamnya jangan sampai dilupakan. Menurut Noerhadi (1989) konsep kartun dipisahkan dengan karikatur berdasarkan sifat kartun dengan tokohnya yang bersifat fiktif untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka, sedangkan karikatur melalui pemiuhan (distorsi) tokoh-tokoh tiruan tertentu untuk memberi persepsi tertentu pada pembaca (Wijana 2004).
Komik Indonesia sebagai sebuah budaya pop pernah berjaya di masa lalu. Sayangnya, manakala sekarang kita membicarakan komik buatan Indonesia umumnya dan komik buatan Medan secara khususnya, maka dapat kita saksikan telah menghilangnya bekas-bekas kejayaan komikus-komikus Medan semisal Taguan Hardjo, Djas dan Zam Nuldyen, untuk menyebut beberapa nama sebagai contoh. Ketika kecil penulis masih sempat menikmati komik-komik Indonesia jaman dulu melalui peminjaman di taman bacaan-taman bacaan, namun sejak komik-komik terjemahan dari Jepang dan Hongkong membanjiri pasar lokal, maka koleksi komik buatan Indonesia di taman bacaan perlahan tapi pasti tergeser sudah. Meskipun saat ini adalah kejayaan zaman visual dimana komik merupakan salah satu bentuk media paling populer dan pervasif, namun dewi keberuntungan belum banyak berpihak memberi kesuksesan pada karya-karya komikus buatan Indonesia sendiri.
Komik Indonesia sebelumnya sempat populer dengan istilah ‘cergam’ yang seyogyanya dikenal sebagai singkatan dari cerita bergambar. Kononnya menurut Arswendo Atmowiloto (1986), seorang pemerhati komik, adalah salah seorang komikus Medan bernama Zam Nudlyen yang mencetuskan penyebutan akronim ‘cergam’ bagi memperhalus makna komik yang sempat terkonotasi dengan unsur-unsur negatif seperti kekerasan dan pornografi. Sementara komikus di era 1950-an hingga 1970-an masih menyukai istilah ini, sebelum akhirnya sekarang sebutan ‘cergam’ menjadi citra yang terasa usang dan dilupakan oleh masyarakat kita yang kini terbiasa menyebut ‘komik’ istilah yang diadopsi dari bahasa Inggris (comic). Dahulu akronim ‘Cergam’ itu menurut Marcell Boneff (1972) ialah mengikuti/ meniru istilah cerpen (cerita pendek) yang sudah lebih biasa digunakan, dan konotasi cergam menjadi lebih bagus, meski terlepas dari masalah tepat tidaknya dari segi kebahasaan atau etimologis kata-nya. Mengenai dimana, kapan, dan bagaimana akhirnya istilah cergam bisa meluas dan diterima, masih diperlukan penelitian historis yang lebih mendalam.
Cergam, sebagaimana komik yang lebih renyah penyebutannya di lidah dan rahang mulut pembaca sekarang ini, tidak terlepas daripada `gambar' dan `cerita'. Selalunya cerita dikaitkan dengan bentuk `tekstual', karena itu argumen komik adalah gambar yang bercerita tentu benar belaka. Tetapi menilik kembali pada kelahiran komik, maka adanya teks dan gambar pada komik secara bersamaan dinilai oleh Francis Laccasin (1971), salah seorang budayawan Perancis pemerhati komik dinyatakan sebagai sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal. Kehadiran teks bukan lagi suatu keharusan karena ada unsur `strip' atau `sekuens' yang boleh dipertimbangkan sebagai jati diri komik lainnya, atau unsur `sekuensial' yang mengikuti dan membentuk narasi cerita. Di dalam komik selalu ada unsur narasi atau penuturan, teks cerita dapat hadir di antara penceritaan gambar-gambar yang berkesinambungan. Tetapi cerita tidak harus selalu hadir tekstual berupa tulisan-tulisan yang bercerita (bertutur). Karena itu istilah komik klasik indonesia yaitu Cergam, cerita bergambar, cerita visual tak lagi harus dipingitkan dengan teks tertulis (verbal), tapi didekatkan kepada narasi atau bercerita, dalam pahaman Eisner disebutlah graphic narration (film dan komik). Cergam atau komik menurut McLuhanian dianggap sebagai media ‘dingin’ yang membutuhkan partisipasi aktif yang relatif bertingkat-tingkat dari pembacanya. Istilah ‘cergam’ menurut sebagian orang tidaklah perlu diangkat ungkit kembali, tetapi sebagai sebuah olah kreatifitas di Indonesia perlu dicatat dalam sejarah, dan ada baiknya tidak dilupakan begitu saja, karena meski hanya sebuah istilah kecil yang tampak tidak begitu berarti, tetapi tetaplah ia merupakan khazanah intelektual yang pernah disumbangkan oleh cergamis atau komikus Indonesia.
Ada pernyataan menarik dari Prof. Makino dari Dept. Komik Universitas Kyoto Seika, sebagaimana dikutip dalam buku Martabak Keliling Komik Dunia, berkaitan dengan komik dan animasi jepang bahwa,"… yang kami buat adalah gambaran kebiasaan dan budaya kami apa adanya." Ungkapan ini dalam tafsiran penulis, menunjukkan bagaimana komik dan animasi Jepang membangun dan mencapai orisinalitas seniman-senimannya dalam berkarya. Dalam ungkapan singkatnya itu, sang professor nampaknya merujuk komik dan animasi sebagai gambaran mentalitas bangsa Jepang sebagai sebuah bentuk kajian sosio-kultural.
Dua tafsiran tersebut di atas, orisinalitas atau keaslian dan gambaran mentalitas itulah yang membuat Marceel Boneff tertarik meneliti komik Indonesia selama lebih kurang 7 tahun. Sebagaimana ia ungkapkan dalam pendahuluan disertasinya, bahwa ia memilih komik di indonesia sebagai pokok kajian dari sudut sosiologis dan psikologis adalah karena :
1) keasliannya yang begitu penting
2) memahami mentalitas bangsa indonesia
Meskipun dahulu komik-komik indonesia tidak berhasil menembus toko-toko buku besar, tetapi khazanah yang terlahir cukup produktif dan layak menjadi kajian walau sedikit sekali komikus-komikus masa dulu menempuh jalur pendidikan formal. Kebalikan yang terjadi sekarang adalah beberapa komik-komik buatan Indonesia cukup berhasil masuk ke toko-toko buku besar, tetapi untuk menjadi sebuah bahan kajian masih perlu lagi diperjuangkan baik dari segi kuantitas dan juga dari segi kualitasnya meskipun kebanyakan komikus-komikus sudah menempuh jalur pendidikan formal. Perjalanan memperjuangkan komik perlu dimulai, masih jauh panggang dari api, api yang ada pun masih dalam sekam yang perlu di kipas-kipas terus.
Perkembangan sebuah budaya tidak terlepas begitu saja dari perjalanan sejarah kebudayaan itu sendiri, dan kejayaan di masa lalu hanya akan tercatat abadi dalam data sejarah atau ingatan kolektif sekelompok masyarakat atau kenangan pribadi seseorang. Manusia menyeleksi mana yang dibutuhkannya dan mana yang tidak, dan komik ternyata sejak kelahirannya beberapa dekade yang lalu hingga saat ini masih terlihat sebagai materi bacaan yang dibutuhkan. Konsepsi komik itu sendiri disinyalir oleh Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), penulis Faust dari Jerman yang terkenal itu, sebagai perekat budaya kosmopolitan manakala ia berkesempatan memperhatikan cerita-bergambar Histoire de Mr. Vieux Bois, buah karya dari seorang pakar pendidikan Swiss yang juga seniman bernama Rodolphe Töppfer (1766-1847). Cerita bergambar atau komik atau yang disebut Töppfer dengan printed literature mempunyai pengertian bahwa sebuah sastra yang dicetak adalah menulis cerita dengan gambaran grafis:
"You can write stories with chapters, lines, words: that's the actual literature. You can write stories with a succession of graphic scenes: that's printed literature. You can also do neither one nor the other, and sometimes that's the best!"
Sebelum konsep komik hadir, orang-orang sudah mengenal terlebih dulu sebutan kartun dan karikatur. Pengertian kartun sebenarnya berasal dari seni, etimologi yg datang dari bahasa italia ‘Cartone’ artinya kertas. Ia merupakan gambaran kasar atau sketsa awal dalam kanvas besar. (Setiawan 2002). Kartun memang pada akhirnya menjadi lebih dikenal sebagai gambar dengan cerita yang lucu-lucu dan menyindir halus (meski kadang keras), tapi kadangkala kita sering salah kaprah dalam menggunakan istilah kartun untuk menyebutkan film animasi sebagai film ‘kartun’ seperti Disney, Donal Bebek dan Miki Tikus, Tom dan Jerry. Jadi, kartun juga dikonotasikan dengan kelucuan atau ‘funny’. Yang lucu-lucu ini akhirnya dekat dengan komik, karena comics arti mendasarnya pun ‘lucu’ karena asumsi awal kelahiran komik di Amerika adalah publikasi periodik seperti suratkabar New York World (1896) di bagian ‘funniest pages’ yaitu halaman-halaman yang memuat kartun-kartun lucu. Menurut Havet (1987) kartun dapat dipertimbangkan sebagai bentuk dari komunikasi massa yang menyampaikan pesan-pesan tertentu (Mahamood 2004). Lebih lanjut diungkapkan oleh Mahamood bahwasannya secara umum kartun diklasifikasikan sebagai bentuk karya dari sebuah subjek yang di lebih-lebihkan (exageratted) dan pemiuhan (distortion) untuk tujuan satir dan hiburan. Kartun berkembang didalam masyarakat, seniman memanfaatkannya untuk merekam, mengkritisi atau mengomentari kejadian, issu dan personalitas tertentu. Karena itu biasanya kartun merefleksikan atau mengilustrasikan beragam aspek budaya dari masyarakat yg membentuknya. Sementara itu ‘karikatur’ lebih gampangnya dipahami sebagai gambar atau lukisan dengan muatan lebih pada seorang karakter yang di kenal, distrosi dan eksegarasi menjadi kata kuncinya, dan muatan pesan tertentu di dalamnya jangan sampai dilupakan. Menurut Noerhadi (1989) konsep kartun dipisahkan dengan karikatur berdasarkan sifat kartun dengan tokohnya yang bersifat fiktif untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka, sedangkan karikatur melalui pemiuhan (distorsi) tokoh-tokoh tiruan tertentu untuk memberi persepsi tertentu pada pembaca (Wijana 2004).
Komik Indonesia sebagai sebuah budaya pop pernah berjaya di masa lalu. Sayangnya, manakala sekarang kita membicarakan komik buatan Indonesia umumnya dan komik buatan Medan secara khususnya, maka dapat kita saksikan telah menghilangnya bekas-bekas kejayaan komikus-komikus Medan semisal Taguan Hardjo, Djas dan Zam Nuldyen, untuk menyebut beberapa nama sebagai contoh. Ketika kecil penulis masih sempat menikmati komik-komik Indonesia jaman dulu melalui peminjaman di taman bacaan-taman bacaan, namun sejak komik-komik terjemahan dari Jepang dan Hongkong membanjiri pasar lokal, maka koleksi komik buatan Indonesia di taman bacaan perlahan tapi pasti tergeser sudah. Meskipun saat ini adalah kejayaan zaman visual dimana komik merupakan salah satu bentuk media paling populer dan pervasif, namun dewi keberuntungan belum banyak berpihak memberi kesuksesan pada karya-karya komikus buatan Indonesia sendiri.
Komik Indonesia sebelumnya sempat populer dengan istilah ‘cergam’ yang seyogyanya dikenal sebagai singkatan dari cerita bergambar. Kononnya menurut Arswendo Atmowiloto (1986), seorang pemerhati komik, adalah salah seorang komikus Medan bernama Zam Nudlyen yang mencetuskan penyebutan akronim ‘cergam’ bagi memperhalus makna komik yang sempat terkonotasi dengan unsur-unsur negatif seperti kekerasan dan pornografi. Sementara komikus di era 1950-an hingga 1970-an masih menyukai istilah ini, sebelum akhirnya sekarang sebutan ‘cergam’ menjadi citra yang terasa usang dan dilupakan oleh masyarakat kita yang kini terbiasa menyebut ‘komik’ istilah yang diadopsi dari bahasa Inggris (comic). Dahulu akronim ‘Cergam’ itu menurut Marcell Boneff (1972) ialah mengikuti/ meniru istilah cerpen (cerita pendek) yang sudah lebih biasa digunakan, dan konotasi cergam menjadi lebih bagus, meski terlepas dari masalah tepat tidaknya dari segi kebahasaan atau etimologis kata-nya. Mengenai dimana, kapan, dan bagaimana akhirnya istilah cergam bisa meluas dan diterima, masih diperlukan penelitian historis yang lebih mendalam.
Cergam, sebagaimana komik yang lebih renyah penyebutannya di lidah dan rahang mulut pembaca sekarang ini, tidak terlepas daripada `gambar' dan `cerita'. Selalunya cerita dikaitkan dengan bentuk `tekstual', karena itu argumen komik adalah gambar yang bercerita tentu benar belaka. Tetapi menilik kembali pada kelahiran komik, maka adanya teks dan gambar pada komik secara bersamaan dinilai oleh Francis Laccasin (1971), salah seorang budayawan Perancis pemerhati komik dinyatakan sebagai sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal. Kehadiran teks bukan lagi suatu keharusan karena ada unsur `strip' atau `sekuens' yang boleh dipertimbangkan sebagai jati diri komik lainnya, atau unsur `sekuensial' yang mengikuti dan membentuk narasi cerita. Di dalam komik selalu ada unsur narasi atau penuturan, teks cerita dapat hadir di antara penceritaan gambar-gambar yang berkesinambungan. Tetapi cerita tidak harus selalu hadir tekstual berupa tulisan-tulisan yang bercerita (bertutur). Karena itu istilah komik klasik indonesia yaitu Cergam, cerita bergambar, cerita visual tak lagi harus dipingitkan dengan teks tertulis (verbal), tapi didekatkan kepada narasi atau bercerita, dalam pahaman Eisner disebutlah graphic narration (film dan komik). Cergam atau komik menurut McLuhanian dianggap sebagai media ‘dingin’ yang membutuhkan partisipasi aktif yang relatif bertingkat-tingkat dari pembacanya. Istilah ‘cergam’ menurut sebagian orang tidaklah perlu diangkat ungkit kembali, tetapi sebagai sebuah olah kreatifitas di Indonesia perlu dicatat dalam sejarah, dan ada baiknya tidak dilupakan begitu saja, karena meski hanya sebuah istilah kecil yang tampak tidak begitu berarti, tetapi tetaplah ia merupakan khazanah intelektual yang pernah disumbangkan oleh cergamis atau komikus Indonesia.
Ada pernyataan menarik dari Prof. Makino dari Dept. Komik Universitas Kyoto Seika, sebagaimana dikutip dalam buku Martabak Keliling Komik Dunia, berkaitan dengan komik dan animasi jepang bahwa,"… yang kami buat adalah gambaran kebiasaan dan budaya kami apa adanya." Ungkapan ini dalam tafsiran penulis, menunjukkan bagaimana komik dan animasi Jepang membangun dan mencapai orisinalitas seniman-senimannya dalam berkarya. Dalam ungkapan singkatnya itu, sang professor nampaknya merujuk komik dan animasi sebagai gambaran mentalitas bangsa Jepang sebagai sebuah bentuk kajian sosio-kultural.
Dua tafsiran tersebut di atas, orisinalitas atau keaslian dan gambaran mentalitas itulah yang membuat Marceel Boneff tertarik meneliti komik Indonesia selama lebih kurang 7 tahun. Sebagaimana ia ungkapkan dalam pendahuluan disertasinya, bahwa ia memilih komik di indonesia sebagai pokok kajian dari sudut sosiologis dan psikologis adalah karena :
1) keasliannya yang begitu penting
2) memahami mentalitas bangsa indonesia
Meskipun dahulu komik-komik indonesia tidak berhasil menembus toko-toko buku besar, tetapi khazanah yang terlahir cukup produktif dan layak menjadi kajian walau sedikit sekali komikus-komikus masa dulu menempuh jalur pendidikan formal. Kebalikan yang terjadi sekarang adalah beberapa komik-komik buatan Indonesia cukup berhasil masuk ke toko-toko buku besar, tetapi untuk menjadi sebuah bahan kajian masih perlu lagi diperjuangkan baik dari segi kuantitas dan juga dari segi kualitasnya meskipun kebanyakan komikus-komikus sudah menempuh jalur pendidikan formal. Perjalanan memperjuangkan komik perlu dimulai, masih jauh panggang dari api, api yang ada pun masih dalam sekam yang perlu di kipas-kipas terus.
Komentar
Kalau boleh siapa yang sudah mengutip dan sukses dengan skripsi-nya, mohon dikabari kembali judul skripsi dan bagian mana dilakukan kutipan dari artikel ini, serta kalau tidak keberatan mohon di email-kan email teman-teman, saya juga sedang membuat semacam pendataan kecil-kecilan tentang seberapa banyak skripsi tentang komik sudah berjalan di tanah air.
Mohon bantuannya, ya. Terimakasih. =)