Sesuatu tentang Cergam untuk Memahami Komik...02
Jepang adalah salah satu raksasa ekonomi Asia yang pengaruh industri perkomikkannya mampu membayangi bahkan melampaui industri perkomikkan dua benua barat, yaitu Amerika dan Eropa. Tradisi komik di Barat membentuk dua pendekatan studi yaitu komik-komik berbahasa Anglo-American (Inggris) dan Franco-Belgian (Perancis). Industri komik Barat dan manga Jepang mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam hal produksi. Komik barat seperti yang diterapkan oleh pola industri komik di Amerika Serikat menuntut kerja tim dari penulis cerita dan artis ilustrasi. Ilustrasi sendiri dapat di pecah kepada beberapa bidang kerja seperti pensil, tinta, mewarna, komputer grafis, dan juga penata teks (letterer). Sedangkan pola industri komik Jepang bersifat studio dengan seorang komikus atau mangaka yang dibantu oleh asisten-asistennya. Belakang hari ini komik semakin menjadi perhatian di Eropa yang terkenal dengan perkembangan seninya, dimana komik sudah diakui sejak lama sebagai seni tersendiri. Akhir-akhir ini beberapa seniman komik Eropa, komikus Amerika dan mangaka Jepang mengejar kebaruan dalam hal visualisasi komik seni. Sementara itu di Amerika Serikat komik semakin gencar di jadikan film layar lebar, dan berbagai upaya dilakukan untuk menaik-tarafkan status komik ke tempat yang lebih terhormat. Komik sendiri sudah semakin menjadi subjek penelitian yang menarik perhatian dari berbagai disiplin ilmu seperti bahasa dan sastra, komunikasi, sosiologi, psikologi, budaya dan media. Proses regenerasi komik sepenuhnya bergantung pada dukungan dan profesionalitas dari para artis komiknya dan kreatifitas industrinya.
Cergam memang sudah mati, ia hanyalah sebuah potret nostalgia bayang-bayang kejayaan masa lalu di sudut yang terlupakan. Setelah lama berbagai komik terjemahan dari Amerika dan Eropa beredar, banyak juga yang diimpor langsung dan kemudian masuklah komik-komik silat dan komik jepang (manga) yang teruji oleh pasar sehingga saat ini masih menjadi primadona penerbit dan pembaca komik di Indonesia. Kegairahan anak-anak dan remaja untuk membuat komik kembali tumbuh dengan gencar. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, juga kota-kota kecil seperti Malang, Bandung dan Yogyakarta, sedang hangat-hangat kegiatan-kegiatan pameran komik berlangsung sejak tahun 1997-an hingga saat ini. Sayangnya kota Medan yang sempat melahirkan kejayaan komik-komik aliran Medan, tidak serta merta ikut dalam semangat kegairahan yang sama. Pameran-pameran komik yang biasanya diselenggarakan dengan modal semangat oleh para mahasiswa berbagai perguruan tinggi dari beragam jurusan atau program studi, tidaklah begitu terdengar gemanya di kota Medan tercinta ini.
Dalam pameran-pameran komik yang terselenggara di pelbagai daerah di Indonesia dapat disederhanakan pengaruh-pengaruh kutub komik yang kentara datang dari gaya komik yang rasional-realis seperti komik barat dan gaya komik yang emosional-ekspresif seperti manga Jepang, sementara itu dari saudara dekatnya komik yaitu kartun, karakter-karakter kartun dan karikatur masih relatif kuat dengan unsur-unsur lokalitasnya.
Walhasil, reaksi keras karena melihat mimikri para komikus yang cenderung predatori terhadap gaya-gaya komik populer seperti komik Amerika dan manga Jepang datang berhamburan. Ada aksi ada reaksi, maka tentangan balik yang datang dari komikus muda juga sama kerasnya. Kebanyakan komikus muda ini mengeyam pendidikan yang cukup memadai, sebuah kabar yang seharusnya menggembirakan namun sayangnya hal itu tidak berbanding lurus dengan sikap penghargaan mereka pada sejarah komik negeri sendiri. Pandangan atau pendapat yang berupa penolakan terhadap karya-karya komikus muda, umumnya adalah masalah unsur-unsur keindonesiaan yang dinilai kurang diperhatikan. Kritikan stereotip ini sampai sekarang masih merupakan pemicu pelbagai ketegangan dalam diskusi-diskusi tentang ciri komik Indonesia, sehingga sebagian orang mencoba melupakannya, atau menggampangkan saja dengan pendapat semua komik buatan anak Indonesia adalah komik Indonesia.
Memahami komik akan sia-sia kalau hanya melalui artikel-artikel tentang komik seperti yang ditulis ini, karena pemahaman itu perlu melibatkan diri langsung ke tengah-tengah kancah pergumulan dunia komik itu sendiri. Memahami komik adalah sebuah ajakan simbolik bahwa untuk mengapresiasi komik adalah dengan membaca sendiri komik-komik itu. Komik adalah budaya imporan yang masuk melalui budaya penjajah kolonial, yang hingga saat inipun masih mencari legitimasinya di ranah kebudayaan. Sebagian dari kita suka mencari-cari tali tradisi masa lalu untuk dihubung-hubungkan dengan konsepsi komik modern yang kita kenal hari ini.
Perlu disadari bersama, komik adalah sesuatu konsep yang baru bagi bangsa Indonesia, tak ada satupun kultur perkembangan pra-konsepsi komik di Indonesia. Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, menurut James Danandjaja (1984) tradisi lisan mengalir sangat kuat dalam kehidupan seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, sajak dan puisi rakyat, prosa rakyat, cerita dan nyanyian rakyat. Dalam tradisi lukis Indonesia, merujuk pada pandangan Sanento Yuliman (1941-1992) arti lukis sediakalanya mempunyai pengertian yang luas, yaitu kata anglukis (jawa kuna), yang tidak berarti hanya merupa dengan garis dan warna saja tapi termasuk juga pahatan dan ukiran. Lagipula pada dasarnya melukis dianggap adalah menulis (anulis) juga yaitu menarik garis dengan alat runcing. Menulis adalah melukis, komik sebagai sebuah konsep tidak memisahkan antara rezim visual dan rezim literatur, namun tidak pula sebuah komik tergantung pada keberadaan gambar atau teks. Komik dapat berupa gambar saja, dan tidak lepas kemungkinannya untuk diolah hanya menggunakan teks tipografi (desain huruf-huruf) saja. Sebagai contoh penekanan, merujuk pada kumpulan tulisan pemikiran pelukis kaligrafi A.D. Pirous (2003), Menulis itu Melukis, maka tersirat bahwa selain menulis dalam makna literal, menulis juga adalah melukis. Sehingga lukisan kaligrafi sendiri adalah lukisan seni tulisan yang didalamnya antara menulis dan melukis tidak lagi terbedakan.
Tidak adanya alur proses pra-konsepsi komik dari masa lalu sehingga membentuk konsepsi komik modern hari ini, sebagaimana terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang, bukan berarti lantas komik tidak layak hidup di negeri kita. Yang diperlukan adalah sebuah kesadaran dan pengakuan bahwa komik merupakan bentuk budaya baru yang diserapkan dalam budaya kontemporer kita. Kekuatan tradisi bercerita kita sangatlah kuat di masa lalu, tetapi bukan pula semangat romantisisme yang dibutuhkan saat ini, namun yang lebih pentingnya adalah upaya untuk memupuk kepercayaan dan harga diri bangsa Indonesia bahwa kita juga mampu menghasilkan karya-karya terbaik. Bahwa kita mampu melepaskan diri dari determinasi kekuatan budaya luar dan membuang jauh-jauh rasa inferioritas ketika berhadapan dengan tradisi asing, walaupun itu hanya melalui budaya dan industri komik.
Dari berbagai pameran komik yang sempat penulis ikuti, terlihat justru komik lokal dibayangi oleh kehilangan kekuatan tematik dari tradisi bercerita itu. Sementara dunia literatur sastrawi dan gerakan seni lukis rupawi di Indonesia berkembang cukup menggembirakan belakang hari ini, rimba perkomikan Indonesia yang masih bergerak merangkak dilingkupi dengan permasalahan banyaknya mimikri atau peniruan baik dari segi visual maupun tematik cerita. Banyak kegiatan komik yang pada akhirnya sebatas menunjukkan eksistensi mengomik atau alasan-alasan lain yang sekedar memanfaatkan medium komik sebagai alihan sarana ekspresi, dan bukan lagi pada gerakan ideologis dan industrialis bagi kebangkitan komik Indonesia.
Baiklah, sekarang mari kita lupakan semua yang sudah diuraikan diatas, buang jauh-jauh semua yang ada di pikiran dan mulailah mengambil pena dan kertas polos. Mualilah membuat komik pertama Anda, tanpa berpikir apa-apa tentang cerita, tentang gaya gambar, tentang ciri, bahkan tentang apa itu komik. Lupakan apa yang baru Anda baca ini. Biarkan yang ada hanya pena, diri Anda, dan kertas. Kita adalah komik itu sendiri, kita adalah kisah komik itu sendiri, kita jugalah gambaran komik itu. Dan biarkan diri kita menghilang dalam komik, sampai tak tersisa apapun selain komik, tak ada sesiapapun, tak juga Anda. Selamat ngomik!
Jepang adalah salah satu raksasa ekonomi Asia yang pengaruh industri perkomikkannya mampu membayangi bahkan melampaui industri perkomikkan dua benua barat, yaitu Amerika dan Eropa. Tradisi komik di Barat membentuk dua pendekatan studi yaitu komik-komik berbahasa Anglo-American (Inggris) dan Franco-Belgian (Perancis). Industri komik Barat dan manga Jepang mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam hal produksi. Komik barat seperti yang diterapkan oleh pola industri komik di Amerika Serikat menuntut kerja tim dari penulis cerita dan artis ilustrasi. Ilustrasi sendiri dapat di pecah kepada beberapa bidang kerja seperti pensil, tinta, mewarna, komputer grafis, dan juga penata teks (letterer). Sedangkan pola industri komik Jepang bersifat studio dengan seorang komikus atau mangaka yang dibantu oleh asisten-asistennya. Belakang hari ini komik semakin menjadi perhatian di Eropa yang terkenal dengan perkembangan seninya, dimana komik sudah diakui sejak lama sebagai seni tersendiri. Akhir-akhir ini beberapa seniman komik Eropa, komikus Amerika dan mangaka Jepang mengejar kebaruan dalam hal visualisasi komik seni. Sementara itu di Amerika Serikat komik semakin gencar di jadikan film layar lebar, dan berbagai upaya dilakukan untuk menaik-tarafkan status komik ke tempat yang lebih terhormat. Komik sendiri sudah semakin menjadi subjek penelitian yang menarik perhatian dari berbagai disiplin ilmu seperti bahasa dan sastra, komunikasi, sosiologi, psikologi, budaya dan media. Proses regenerasi komik sepenuhnya bergantung pada dukungan dan profesionalitas dari para artis komiknya dan kreatifitas industrinya.
Cergam memang sudah mati, ia hanyalah sebuah potret nostalgia bayang-bayang kejayaan masa lalu di sudut yang terlupakan. Setelah lama berbagai komik terjemahan dari Amerika dan Eropa beredar, banyak juga yang diimpor langsung dan kemudian masuklah komik-komik silat dan komik jepang (manga) yang teruji oleh pasar sehingga saat ini masih menjadi primadona penerbit dan pembaca komik di Indonesia. Kegairahan anak-anak dan remaja untuk membuat komik kembali tumbuh dengan gencar. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, juga kota-kota kecil seperti Malang, Bandung dan Yogyakarta, sedang hangat-hangat kegiatan-kegiatan pameran komik berlangsung sejak tahun 1997-an hingga saat ini. Sayangnya kota Medan yang sempat melahirkan kejayaan komik-komik aliran Medan, tidak serta merta ikut dalam semangat kegairahan yang sama. Pameran-pameran komik yang biasanya diselenggarakan dengan modal semangat oleh para mahasiswa berbagai perguruan tinggi dari beragam jurusan atau program studi, tidaklah begitu terdengar gemanya di kota Medan tercinta ini.
Dalam pameran-pameran komik yang terselenggara di pelbagai daerah di Indonesia dapat disederhanakan pengaruh-pengaruh kutub komik yang kentara datang dari gaya komik yang rasional-realis seperti komik barat dan gaya komik yang emosional-ekspresif seperti manga Jepang, sementara itu dari saudara dekatnya komik yaitu kartun, karakter-karakter kartun dan karikatur masih relatif kuat dengan unsur-unsur lokalitasnya.
Walhasil, reaksi keras karena melihat mimikri para komikus yang cenderung predatori terhadap gaya-gaya komik populer seperti komik Amerika dan manga Jepang datang berhamburan. Ada aksi ada reaksi, maka tentangan balik yang datang dari komikus muda juga sama kerasnya. Kebanyakan komikus muda ini mengeyam pendidikan yang cukup memadai, sebuah kabar yang seharusnya menggembirakan namun sayangnya hal itu tidak berbanding lurus dengan sikap penghargaan mereka pada sejarah komik negeri sendiri. Pandangan atau pendapat yang berupa penolakan terhadap karya-karya komikus muda, umumnya adalah masalah unsur-unsur keindonesiaan yang dinilai kurang diperhatikan. Kritikan stereotip ini sampai sekarang masih merupakan pemicu pelbagai ketegangan dalam diskusi-diskusi tentang ciri komik Indonesia, sehingga sebagian orang mencoba melupakannya, atau menggampangkan saja dengan pendapat semua komik buatan anak Indonesia adalah komik Indonesia.
Memahami komik akan sia-sia kalau hanya melalui artikel-artikel tentang komik seperti yang ditulis ini, karena pemahaman itu perlu melibatkan diri langsung ke tengah-tengah kancah pergumulan dunia komik itu sendiri. Memahami komik adalah sebuah ajakan simbolik bahwa untuk mengapresiasi komik adalah dengan membaca sendiri komik-komik itu. Komik adalah budaya imporan yang masuk melalui budaya penjajah kolonial, yang hingga saat inipun masih mencari legitimasinya di ranah kebudayaan. Sebagian dari kita suka mencari-cari tali tradisi masa lalu untuk dihubung-hubungkan dengan konsepsi komik modern yang kita kenal hari ini.
Perlu disadari bersama, komik adalah sesuatu konsep yang baru bagi bangsa Indonesia, tak ada satupun kultur perkembangan pra-konsepsi komik di Indonesia. Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, menurut James Danandjaja (1984) tradisi lisan mengalir sangat kuat dalam kehidupan seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, sajak dan puisi rakyat, prosa rakyat, cerita dan nyanyian rakyat. Dalam tradisi lukis Indonesia, merujuk pada pandangan Sanento Yuliman (1941-1992) arti lukis sediakalanya mempunyai pengertian yang luas, yaitu kata anglukis (jawa kuna), yang tidak berarti hanya merupa dengan garis dan warna saja tapi termasuk juga pahatan dan ukiran. Lagipula pada dasarnya melukis dianggap adalah menulis (anulis) juga yaitu menarik garis dengan alat runcing. Menulis adalah melukis, komik sebagai sebuah konsep tidak memisahkan antara rezim visual dan rezim literatur, namun tidak pula sebuah komik tergantung pada keberadaan gambar atau teks. Komik dapat berupa gambar saja, dan tidak lepas kemungkinannya untuk diolah hanya menggunakan teks tipografi (desain huruf-huruf) saja. Sebagai contoh penekanan, merujuk pada kumpulan tulisan pemikiran pelukis kaligrafi A.D. Pirous (2003), Menulis itu Melukis, maka tersirat bahwa selain menulis dalam makna literal, menulis juga adalah melukis. Sehingga lukisan kaligrafi sendiri adalah lukisan seni tulisan yang didalamnya antara menulis dan melukis tidak lagi terbedakan.
Tidak adanya alur proses pra-konsepsi komik dari masa lalu sehingga membentuk konsepsi komik modern hari ini, sebagaimana terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang, bukan berarti lantas komik tidak layak hidup di negeri kita. Yang diperlukan adalah sebuah kesadaran dan pengakuan bahwa komik merupakan bentuk budaya baru yang diserapkan dalam budaya kontemporer kita. Kekuatan tradisi bercerita kita sangatlah kuat di masa lalu, tetapi bukan pula semangat romantisisme yang dibutuhkan saat ini, namun yang lebih pentingnya adalah upaya untuk memupuk kepercayaan dan harga diri bangsa Indonesia bahwa kita juga mampu menghasilkan karya-karya terbaik. Bahwa kita mampu melepaskan diri dari determinasi kekuatan budaya luar dan membuang jauh-jauh rasa inferioritas ketika berhadapan dengan tradisi asing, walaupun itu hanya melalui budaya dan industri komik.
Dari berbagai pameran komik yang sempat penulis ikuti, terlihat justru komik lokal dibayangi oleh kehilangan kekuatan tematik dari tradisi bercerita itu. Sementara dunia literatur sastrawi dan gerakan seni lukis rupawi di Indonesia berkembang cukup menggembirakan belakang hari ini, rimba perkomikan Indonesia yang masih bergerak merangkak dilingkupi dengan permasalahan banyaknya mimikri atau peniruan baik dari segi visual maupun tematik cerita. Banyak kegiatan komik yang pada akhirnya sebatas menunjukkan eksistensi mengomik atau alasan-alasan lain yang sekedar memanfaatkan medium komik sebagai alihan sarana ekspresi, dan bukan lagi pada gerakan ideologis dan industrialis bagi kebangkitan komik Indonesia.
Baiklah, sekarang mari kita lupakan semua yang sudah diuraikan diatas, buang jauh-jauh semua yang ada di pikiran dan mulailah mengambil pena dan kertas polos. Mualilah membuat komik pertama Anda, tanpa berpikir apa-apa tentang cerita, tentang gaya gambar, tentang ciri, bahkan tentang apa itu komik. Lupakan apa yang baru Anda baca ini. Biarkan yang ada hanya pena, diri Anda, dan kertas. Kita adalah komik itu sendiri, kita adalah kisah komik itu sendiri, kita jugalah gambaran komik itu. Dan biarkan diri kita menghilang dalam komik, sampai tak tersisa apapun selain komik, tak ada sesiapapun, tak juga Anda. Selamat ngomik!
Komentar